Contoh KEHIDUPAN AWAL
MASYARAKAT INDONESIA
Contoh Makalah Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia |
Oleh :
1. Didin Kurniawan
2. Imam Adhy Hermawan
3. Muhammad Irfanuddin
4. Sandi Sukmana Putra
5. Yeti Dhea Arumsari
SMA NEGERI 1 CLURING
Jl. HUZAINI NO. CLURING
BANYUWANGI
Tahun 2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala bimbingan dan petunjuk-Nya sehingga penulisan makalah dengan judul “Kehidupan Awal Masyawakat Indonesia” dapat terselesaikan, makalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah.
Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik selain karena kerja keras juga bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya mengucapkan banyak terima kasih.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari tata cara penulisan maupun penggunaan bahasa. Untuk itu saya mengharap kritik dan saran yang bersifat membagun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih dan harapan kami makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan pembaca.
Banyuwangi, ……………..
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Katan Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan Penulisan 1
C. Manfaat 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kehidupan Masyarakat Beternak Dan Bercocok Tanam 2
B. Kehidupan Masyarakat Berburu Dan Mengumpulkan Makanan 3
C. Perkembangan Teknologi Masyarakat Awal Indonesia 7
D. Sistem Kepercayan Awal Masyarakat Indonesia 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan salah satu mahluk yang tinggal dibumi pada jaman dahulu kala. Mereka hidup dengan cara berburu, bercocok tanam, hingga mengenal teknologi dan kepercayaan.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia tinggal di alam terbuka seperti hutan, di tepi sungai, di gunung, di gua dan di lembah-lembah. Kemampuan berpikir manusia untuk mempertahankan kehidupannya mulai berkembang.
Munculnya kelompok-kelompok manusia dalam jumlah yang lebih banyak serta menetap di suatu tempat. Munculnya bentuk kehidupan semacam itu berawal dari upaya manusia untuk menyiapkan persediaan bahan makanan yang cukup dalam satu masa tertentu. Dalam kehidupan menetap itu manusia mulai hidup dari hasil bercocok tanam dengan menanam jenis-jenis tanaman yang semula tumbuh liar untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Disamping itu, mereka mulai menjinakkan hewan-hewan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kuda, anjing, kerbau, sapi, dan babi.
Dari pola kehidupan bercocok tanam ini, manusia sudah dapat menguasai alam lingkungannya beserta isinya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang kehidupan masyarakat dizaman dulu dengan lebih ringkas.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini diantaranya sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran sejarah
2. Mengidentifikasi kehidupan manusia pada zaman dulu
C. Manfaat
1. Dapat mengetahui kehidupan masyarakat di jaman dulu.
2. Sebagai bahan referensi tambahan di bidang pendidikan khusunya mata pelajaran sejarah tentang kehidupan masyarakat di jaman dulu
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEHIDUPAN MASYARAKAT BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN
1. Lingkungan Alam Kehidupan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia tinggal di alam terbuka seperti hutan, di tepi sungai, di gunung, di gua dan di lembah-lembah. Manusia melakukan perjalanannya cenderung melalui atau menyusuri tepi-tepi sungai. Timbul di dalam benak pikiran mereka untuk membuat rakit-rakit dan mereka dapat menciptakan perahu sebagai sarana perjalanan untuk melalui sungai.
2. Kehidupan Sosial
Masyarakat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan telah mengenal kehidupan kelompok, kelompok sekitar 10-15 orang. Mereka hidup selalu berpindah-pindah semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan antar anggota kelompok sangat erat. Masing-masing kelompok itu memiliki pemimpin yang sangat di taati dan sangat di hormati oleh anggota kelompoknya.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan telah terlihat adanya tanda-tanda kehidupan sosial dalam suatu kelompok masyarakat, walaupun tingkatannya masih sangat sederhana.
3. Kehidupan Budaya
Pada kehidupan masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan, manusia lebih senang memilih goa-goa sebagai tempat tinggalnya. Mereka mulai membuat alat-alat berburu, alat pemotong, alat pengeruk tanah, dan alat lainnya. Para ahli menafsirkan bahwa pembuat alat-alat tersebut adalah jenis manusia Pithecanthropus dan kebudayaannya di sebut tradisi Paleolitikum (batu tua). Alat-alat tersebut banyak di temukan di Kali Basoka, daerah Kabupaten Pacitan (Jawa Timur) dan kemudian di sebut budaya Pacitan.
Benda-benda hasil kebudayaan tersebut adalah sebagai berikut.
Kapak Perimbas Kapak perimbas tidak memiliki tangkai dan digunakan dengan cara menggenggam. Penelitian terhadap kapak ini di lakukan di daerah Punung (Kabupaten Pacitan) oleh Von Koenigswald (1935). Para ahli mengambil kesimpulan bahwa alat-alat itu berasal dari lapisan yang sama dengan Pithecanthropus erectus dan di perkirakan juga bahwa Pithecanthropus erectus inilah pembuatnya.
Kapak Penetak Kapak penetak ini bentuknya lebih besar dari kapak perimbas dan cara pembuatannya masih kasar. Kapak ini berfungsi untuk membelah kayu, pohon, dan bambu.
Kapak Genggam bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas dan kapak penetak. Tetapi bentuknya jauh lebih kecil. Kapak genggam di buat masih sangat sederhana dan belum di asah.
Pahat Genggam Pahat genggam memiliki bentuk lebih kecil dari kapak genggam. Pahat genggam mempunyai fungsi untuk menggemburkan tanah.
Alat Serpih alat serpih mempunyai bentuk yang sangat sederhana dan berdasarkan bentuknya alat-alat di duga di gunakan sebagai pisau, gurdi dan alat penusuk. Alat serpih ini juga di temukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1934 di daerah Sangiran (Kabupaten Surakarta). Alat serpih berukuran antara 10-20 centimeter.
Alat-alat dari Tulang alat-alat dari tulang di buat dari tulang-tulang binatang buruan. Peralatan dari tulang itu banyak di temukan di Ngandong.
4. Kehidupan Ekonomi Masyarakat
Pada masa kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan, manusia bekerja bersama-sama dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
5. Kehidupan Kepercayaan Masyarakat
Penemuan kuburan dari masa berburu dan mengumpulkan makanan menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah memiliki anggapan tertentu dan memberikan penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal. Dan pada masa itu manusia telah dapat menggunakan akal pikirannya, walaupun terbatas hanya pada hal-hal tertentu saja.
B. KEHIDUPAN MASYARAKAT BETERNAK DAN BERCOCOK TANAM
1. Lingkungan Alam Sekitar
Kemampuan berpikir manusia untuk mempertahankan kehidupannya mulai berkembang. Hal ini mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok manusia dalam jumlah yang lebih banyak serta menetap di suatu tempat. Munculnya bentuk kehidupan semacam itu berawal dari upaya manusia untuk menyiapkan persediaan bahan makanan yang cukup dalam satu masa tertentu. Dalam kehidupan menetap itu manusia mulai hidup dari hasil bercocok tanam dengan menanam jenis-jenis tanaman yang semula tumbuh liar untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Disamping itu, mereka mulai menjinakkan hewan-hewan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kuda, anjing, kerbau, sapi, dan babi. Dari pola kehidupan bercocok tanam ini, manusia sudah dapat menguasai alam lingkungannya beserta isinya.
Kehidupan bercocok tanam yang pertama kali di kenal oleh manusia adalah berhuma. Berhuma adalah teknik bercocok tanam dengan cara membersihkan hutan dan menanamnya, setelah tanah tidak subur mereka pindah dan mencari bagian hutan yang lain. Namun dalaman perkembangan berikutnya, manusia mulai memikirkan kembali untuk hidup menetap dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, manusia mulai menerapkan kehidupan bercocok tanam pada tanah-tanah persawahan.
2. Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam mengalami peningkatan yang cukup pesat. Mereka memilih tempat tinggal pada suatu tempat tertentu. Hal ini di maksudkan agar hubungan antara manusia di dalam kelompok masyarakatnya semakin erat.
Eratnya hubungan antar manusia di dalam kelompok masyarakatnya, merupakan suatu cermin bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa anggota kelompok masyarakat yang lainnya. Hal ini di sebabkan karena manusia adalah makhluk sosial. Manusia selau tergantung dengan manusia lainnya, sehingga masing-masing manusia saling melengkapi, saling membantu dan saling berinteraksi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kehidupan sosial yang di lakukan oleh maasyarakat pada masa bercocok tanam ini terlihat dengan jelas melalu cara bekerja dengan bergotong-royong, membangun rumah sebagai tempat tinggal dan lain-lain.
Cara hidup bergotong-royong itu merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat yang bersifat agraris. Hingga sekarang, terutama pada masyarakat-masyarakat di daerah pedesaan atau pegunungan, budaya hidup bergotong-royong itu masih di pertahankan. Walaupun sebagian orang menyadari bahwa kehidupan bergotong royong dapat mempererat hubungan di antara anggota-anggota masyarakat. Mereka ini biasanya mendapat sanksi dari anggota-anggota masyarakat lainnya. Sanksi tersebut kebanyakan lebih bersifat sanksi moral.
Pola hidup menetap telah membuat hubungan sosial masyarakat terjalin dan terorganisasi dengan lebih baik. Biasanya terdapat seorang pemimpin yang di sebut kepala suku, sosok kepala suku merupakan orang yang sangat di percaya dan di taati untuk memimpin sebuah kelompok masyarakat.
3. Kehidupan Ekonomi
Pada masa kehidupan bercocok tanam, kebutuhan hidup masyarakat semakin bertambah, namun tidak ada satu anggota masyarakat pun yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya sendiri. Oleh karena itu mereka menjalin hubungan yang lebih erat lagi dengan sesama anggota masyarakat. Mereka juga menjalin hubungan dengan masyarakat yang berada di luar daerah tempat tinggalnya. Masyarakat yang berada di daerah pegunungan membutuhkan hasil yang di peroleh dari pantai seperti garam, ikan laut, dan lain-lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhannya masing-masing di adakan pertukaran barang dengan barang (sistem barter). Pertukaran barang dengan barang ini menjadi awal munculnya sistem perdagangan atau sistem perekonomian dalam masyarakat.
Bahkan untuk memperlancar kegiatan perdagangan, di butuhkan suatu tempat khusus yang dapat di jadikan sebagai tempat pertemuan antara pedagang dan pembeli. Tempat itu di kenal dengan sebutan pasar.
4. Sistem Kepercayaan Masyarakat
Perkembangan sistem kepercayaan masyarakat pada masa kehidupan bercocok tanam dan menetap, merupakan kelanjutan kepercayaan yang telah muncul pada masa kehidupan masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan. Kehidupan bercocok tanam kepercayaan masyarakat semakin bertambah. Mereka percaya bahwa orang-orang yang meninggal rohnya pergi ke suatu tempat yang tidak jauh dari tempat tinggalnya atau roh orang yang meninggal itu tetap berada di sekitar wilayah tempat tinggalnya, sehingga sewaktu-waktu dapat di panggil untuk di minati bantuannya dalam kasus tertentu seperti menanggulangi wabah penyakit atau mengusir pasukan-pasukan musuh yang ingin menyerang wilayah tempat tinggalnya.
Inti kepercayaan ini berkembang dari zaman ke zaman. Penghormatan dan pemujaan kepada roh nenek moyang merupakan suatu kepercayaan yang berkembang di seluruh dunia. Di Indonesia kepercayaan dan pemujaan kepada roh nenek moyang terlihat melalui peninggalan-peninggalan tugu-tugu batu atau bangunan-bangunan megalitikum. Bangunan-bangunan megalitikum itu banyak di temukan pada tempat-tempat yang lebih tinggi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung atau tempat-tempat yang lebih tinggi dari dataran sekitarnya.
Untuk menelusuri kepercayaan masyarakat Indonesia dari masa bercocok tanam, para ahli mengadakan penelitian dari berbagai bangunan megalitikum atau kuburan manusia yang berasal dari masa itu. Dari hasil penelitian itu, para ahli sejarah berhasil mendapat gambaran mengenai berbagai kebiasaan yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat pada masa itu, hingga sekarang ini kita masih dapat lihat upacara-upacara tradisi Megalitikum dari beberapa suku bangsa di Indonesia.
Berdasarkan kepercayaan itu, seorang kepala suku memiliki kekuasaan dan tanggung jawab penuh terhadap kelompok sukunya. Seorang kepala suku dapat mengatur dan melindungi kelompok sukunya dari segala bentuk ancaman, seperti ancaman dari binatag buas, ancaman dari kelompok lainnya, ancaman dari wabah penyakit dan sebagainya.
5. Kekuasaan Budaya
Perkembangan kebudayaan pada masa bercocok tanam semakin bertambah pesat, karena manusia mulai dapat mengembangkan dirinya untuk menciptakan kebudayaan yang lebih baik.
Beliung persegi merupakan hasil kebudayaan manusia dari masa kehidupan masyarakat bercocok tanam. Beliung persegi di temukan dalamjumlah yang cukup besar. Daerah-daerah tempat penemuannya antara lain Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Kapak Lonjong terbuat dari kali yang bewarna kehitam-hitaman, cara pembuatannya adalah dengan diupam sampai halus. Kapak lonjong ini di temukan oleh para ahli sejarah di Maluku, Papua dan sebagian daerah Sulawesi Utara. Di lur wilayah Indonesia kapak lonjong di temukan di kepulauan Filipina, Taiwan dan Cina.
Mata panah merupakan salah satu dari perlengkapan berburu maupun menangkap ikan. Sisi-sisi mata panah dari zaman kehidupan masyarakat bercocok tanam berhasil di temukan di dalam goa-goa yang ada di pinggir sungai. Kemungkinan juga ada mata panah yang di buat dari kayu seperti yang masih di gunakan oleh para penduduk asli Papua.
Gerabah terbuat dari tanah liat yang di bakar. Alat-alat itu di gunakan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda perhiasan. Gerabah hampir di temukan pada setiap rumah tangga di seluruh Indonesia.
6. Perhiasan
Pada masa kehidupan masyarakat bercocok tanam telah di kenal berbagai bentuk perhiasan. Bahan dasar pembuatan perhiasan di ambil dari bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungan alam tempat tinggalnya, seperti tanah liat, batu kalsedon, yaspur dan agat. Dari bahan-bahan itu masyarakat membuat berbagai bentuk perhiasan yang di inginkannya seperti kalung, gelang dan lain-lain.
Di samping kebudayaan-kebudayaan yang telah berhasil di temukan oleh para ahli tersebut, juga berkembang kebudayaan yang terbuat dari batu-batu besar atau kebudayaan megalitikum pada masa kehidupan masyarakat bercocok tanam. Wujud bangunan megalitikum di antaranya sebagai berikut.
Menhir adalah tugu batu tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang
Waruga adalah kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat. Waruga di buat dari batu utuhn dan banyak di temukan di daerah Sulawesi Tengan dan Utara.
Dolmen adalah meja batu yang meletakkan sesaji yang di persembahkan kepada roh nenek moyang.
Punden Berundak-undak merupakan bangunan suci tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang di buat dalam bentuk bertingkat-tingkat.
Sarkofagus adalah peti jenazah yang terbuat dari batu bulat ( batu tunggal ).
Kubur Batu adalah peti jenazah yang terbuat dari batu pipih.
Arca dari masa megalitikum menggambarkan binatang dan manusia.
C. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MASYARAKAT AWAL INDONESIA
1. Keadaaan Alam Lingkungan Kehidupan Manusia
Pada masa ini, manusia telah mengenal teknologi, meski teknologi itu masih terbatas pada upaya untuk memenuhi peralatan-peralatan sederhanan yang di butuhkan dalam aktivitas kehidupannya.
Ketika manusia mulai mengenal logam, manusia telah dapat menggunakan peralatan-peralatan yang terbuat dari logam, seperti peralatan rumah tangga, peralatan pertanian, berburu, berkebun dan lain-lain. Orang yang ahli membuat alat-alat dari logam itu disebut undagi dan tempat pembuatan alat-alat di sebut perundagian. Logam campuran disebut dengan logam perunggu.
Benda-benda yang terbuat dari perunggu ini ada yang di buat di wialyah Indonesia oleh masyarakat Indonesia sendiri. Alat cetak dari tanah liat terlebih dahulu di bentuk dengan lilin sesuai dengan barang yang akan di buat, kemudian di balut dengan tanah liat.
2. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat
Kehidupan pada masa manusia telah mengenal logam di kenal sebagai masa perundagian. Masa perundagian sangat penting karena pada masa ini terjalin hubungan dengan daerah-daerah di sekitar kepulauan Indonesia.
Masa perundagian juga menjadi dasar bertumbuh kembangnya kerajaan-kerajaan di Indonesia seperti kerajaan Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram dan kerajaan-kerajaan lainnya. Kemakmuran masyarakat di ketahui melalui perkembangan teknik pertanian. Bentuk alat-alat pertanian seperti pisau, bajak, cangkul dan sebagainya.
3. Kehidupan Budaya Masyarakat
Peninggalan-peninggalan budaya masyarakat Indonesia yang berasal dari benda-benda logam merupakan kekayaan dan keanekaragaman budaya yang telah tumbuh dan berkembang pada masa itu. Di antaranya :
Nekara Perunggu, nekara merupakan sebuah benda kebudayaan yang terbuat dari perunggu. Bentuknya seperti sebuah dandang yang tertelungkup, berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk memohon turunnya hujan. Nekara di hias beranekaragam dengan pola binatang, pola geometri, pola tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Nekara di temukan pada daerah Indonesia bagian timur, yaitu Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Selayar, Papua. Nekara tersebut bergaris tengah 160 cm dan tinggi 198 cm. Rakyat setempat menyebut Nekara itu dengan nama “Bulan Pejeng”. Nekara yang terkecil di sebut moko. Moko sering di anggap keramat dan bahkan di jadikan sebagai mas kawin pada tradisi upacara perkawinan di daerah Nusa Tenggara.
Kapak Perunggu, bentuk kapak perunggu beraneka ragam, ada yang berbentuk pahat, jantung dan tembilang. Pola hiasanya berupa topang mata dan pola geometri.
Bejana Perunggu, bentunya mirip gitar Spanyol, tetapi tanpa tangkai. Pola hiasan adalah hiasan anyaman dan menyerupai huruf “J”.
Arca Perunggu, bentuk arca ( patung ) beraneka ragam, seperti menggambarkan orang sedang menari, naik kuda dan memegang busur panah.
Perhiasan, perhiasan yang terbuat dari perunggu, emas, dan besi banyak di temukan di wilayah Indonesia. Bentuk perhiasan beranekaragam dan di gunakan sebagai gelang tangan, gelang kaki, cincin, kalung, bandul dan lain-lain.
Tempat penemuan benda-benda dari besi antara lain gunung Kidul (Yogyakarta), Bogor, Besuki dan Punung (Jawa Timur).
D. SISTEM KEPERCAYAN AWAL MASYARAKAT INDONESIA
1. Kepercayaan Terhadap Roh Nenek Moyang
Perkembangan sistem kepercayaan pada masyarakat Indonesia berawal dari kehidupan masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan. Masyarakat pada masa itu selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari tempat tinggal yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka mulai berdiam lama / tinggal pada suatu tempat pada goa-goa. Pada goa-goa itu di temukan sisa-sisa budaya mereka, berupa alat-alat kehidupan. Dari hasil penemuan itu dapat di ketahui pada masa itu orang sudah mempunyai pandangan tertentu mengenai kematian.
Penguburan kerangka manusia di dalam goa-goa merupakan wujud penghormatan kepada orang yang meninggal, penghormatan kepada orang yang telah pergi atau penghormatan kepada roh.
Megalitikum berfungsi sebagai tempat-tempat pemujaan atau penghormatan kepada kepada roh nenek moyang. Sebelum masuknya pengaruh Hindhu-Budha, masyarakat Indonesia telah memberikan penghormatan dan pemujaan kepada roh nenek moyang.
2. Kepercayaan Bersifat Animisme
Animisme merupakan suatu kepercayaan masyarakat terhadap suatu benda yang di anggap mempunyai roh atau jiwa. Masyarakat banyak yang percaya bahwa sebilah keris pusaka memiliki roh atau jiwa, sehingga benda-benda seperti itu di anggap dapat memberi petunjuk tentang berbagai hal yang berkembang dalam masyarakat.
Selain benda-benda tersebut diatas, terdapat banyak hal yang di percaya oleh masyarakat, antara lain bangunan gedung tua, bangunan candi, pohon besar dan lainnya sebagainya.
3. Kepercayaan Bersifat Dinamisme
Dinamisme merupakan suatu kepercayaan bahwa setiap benda memiliki kekuatan gaib. Sejak berkembangnya kepercayaan terhadap roh nenek moyang pada masa kehidupan masyarakat bercocok tanam, maka berkembang pula kepercayaan yang bersifat dinamisme. Misalnya, sebuah batu cincin di pandang mempunyai kekuatan untuk melemahkan lawan.
4. Kepercayaan Bersifat Monoisme
Kepercayaan monoisme adalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan ini muncul berdasarkan pengalaman-pengalana dari masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Achdiati S.Y. U. Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Tarumanegara dan Sunda. Jakarta: CV Multiguna.
Ali, Moh. 2004. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cribb, Robert. 2000. Historical Atlas of Indonesia. London: Curzon Press.
Culpin, Christopher dan Fiona Macdonald. 1995. Collin History Connections 1. London: Collin Educational.
Idris, Z.H. dan Tugiyono. 1980. Sejarah untuk SMA. Jakarta: Penerbit Mutiara Sumber Widya,
Miksic, John. 1996. Indonesian Heritage: Ancient History. Singapura. Grolier International Inc.
McGlynn, John H (Ed.). 1996. Indonesian Heritage: Languanges and Literature. Jakarta. Grolier International Inc.
Kartodirijo, Sartono. 1975. Sejarah Nasional. Jakarta: Depdikbud.
Koetoyo, Soetrisno et al. 1982. Sejarah Dunia. Jakarta: Widjaja.
Miles, Lisa dan Mandy Ross. 2001. Peta di Abad 20 (terjemahan). Jakarta: Inovasi. Notosusanto, Nugroho et al. 1992. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Depdikbud.
Overt', Richard dan Geoffrey Barraclough (editor). 1999. The Times History of The World (new edition). London: Times Books.
Palmier, L.H. 1965. Indonesia. London: Thames and Hudson.
Reeves, Nicolas. 1995. The Complete Tutankhamen: The King, The Tomb, The Royal Treasure. London: Thames and Hudson.
Reid, Anthony. 1996. Indonesian Heritage: Early Modern History. Singapura: Grolier International Inc.
Ricklefs, M.C. 2000. Sejarah Modern. Jakarta: Serambi.
Romein J.M dan W.F. Wertheim. 1954. Asia Bergolak. Jakarta: Penerbit Djambatan. Rossi, Renzo. 1995. Atlas of Human History: The First Settlers. Milano: Cherrytree Books.
. 1995. Atlas of Human History: The First Europeans. Milano: Cherrytree Books.
Soekmono, R. 1985. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Soenardi, B.A. dkk. 1987. Sejarah Nasional dan Dunia, Penerbit Tri Ratna.
Subrata (Ketua). 1991. 25 Tahun Pembanguna Pemerintah Orde Baru. Jakarta: PT Tuhe Lowarutu Utama.
Sukendar, Haris.1997. Album Tradisi Megalitik Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiromihardja, J. 1975. Sejarah Kita dan Dunia Sepanjang Masa, Jakarta: Bina Cipta.
Wiryosuparto, R.M. 1964. Bunga Rampai Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.