Realita kehidupan manusia selalu berkaitan dengan drama
peristiwa yang tak ada habisnya. Kehidupan manusia tidak selamanya berjalan
sesuai dengan keinginan setiap individu. Kadangkala manusia dihadapkan pada
suatu permasalahan yang pelik dan rumit sehingga terkadang seperti kisah negeri
dongeng modern tanpa batas yang kisahnya bisa membuat orang simpati, menangis,
atau bahkan emosi karena cerita harunya. Permasalahan tersebut harus
diselesaikan dengan cara apapun, meski kadang membuat seseorang menjadi gila
karenanya. Itulah
yang kira – kira ingin disampaikan Iqbal Baraas melalui karya kumpulan
cerpennya yang berjudul Pesta Hujan di Mata Shinta. Berbagai tema diangkatnya,
mulai dari percintaan, romantika kehidupan orang kecil, hingga masalah –
masalah personal, seperti masalah dalam rumah tangga.
Di dalam
buku ini penulis tidak bercerita tentang kemegahan maupun kekayaan berlimpah
yang kadang kisahnya sudah bisa ditebak. Tapi Iqbal Baraas lebih memilih untuk mengangkat
kehidupan manusia yang sebenarnya, kehidupan manusia yang penuh perjuangan
untuk mendapat kemakmuran dan kesejahteraan yang riil. Melalui buku kumpulan
cerpennya ini, Iqbal ingin mengajak pembaca menyelami realita kehidupan manusia
yang sesungguhnya sehingga bisa mendapatkan hikmah atau pelajaran yang bisa
dipetik dari cerita tersebut.
Ilustrasi
cover atau sampul buku ini berbeda dari sampul buku kumpulan cerpen seperti
pada umumnya. Sampul buku ini menggambarkan kehidupan rakyat kecil
yang dilukiskan melalui wayang jawa. Sampul buku kumpulan cerpen ini memiliki sebuah makna yang tidak
semua orang memahami maknanya sehingga melalui sampul buku pembaca bisa dibuat
penasaran dengan isi ceritanya. Gaya bahasa yang digunakan masih banyak
menggunakan kata bermakna konotasi sehingga cerpen yang bercerita tentang hal –
hal ringan dan akrab dengan kehidupan menjadi sulit dimengerti inti dari cerita
tersebut. Mungkinkah tatapan mata bisa meludahi dan mencaci maki seseorang?
(hlm.129). Akan tetapi, Iqbal juga menyelipkan kata – kata Jawa Timur-an untuk
melakukan pendekatan pada peristiwa sehari – hari, seperti pada kalimat “mbulet
ya, Mak ?” , “Ndak usah mbulet dan ndak usah mumet. Ndak usah dipikirin dalem –
dalem …” (hlm.16). Dilihat dari pilihan kata, Iqbal Baraas termasuk penulis
yang berani mengambil berbagai pilihan kata dalam cerpennya.
Judul sampul atau cover buku
kumpulan cerpen ini adalah Pesta Hujan di Mata Shinta yang diambil dari salah
satu judul cerpen di dalamnya. Penulis mengangkat judul ini karena cerita ini
lebih menarik karena konflik yang dipaparkan lebih jelas yaitu tentang
kebencian seorang anak gadis bernama Shinta kepada setiap lelaki, terutama pada
sang ayah. Hal ini terjadi karena ajaran sang ibu yang telah dikhianati mungkin
bisa jadi oleh setiap lelaki hingga kehidupannya berubah miris. Selain itu
ungkapan cerpen ini lugas dan langsung, tanpa basa – basi.
Gaya bercerita Iqbal Baraas yang mengalir apa adanya yang
memadukan realitas dengan aliran absurdisme, yaitu aliran yang didasarkan pada
kepercayaan bahwa usaha manusia untuk mencari arti kehidupan akan berakhir
dengan kegagalan dan bahwa kecenderungan manusia untuk melakukan hal itu
sebagai sesuatu yang absurd.
Sebenarnya
buku ini bisa dibaca oleh semua kalangan karena banyak pelajaran yang bisa
dipetik dari kisah – kisah yang disajikan di dalamnya. Tapi karena pilihan kata
yang tergolong rumit, tak teratur, dan banyak mengandung makna – makna konotasi
atau kiasan, buku ini terasa berat untuk dibaca kalangan anak – anak.
Judul
Buku : MALAM PERTAMA DIALAM KUBUR
Penulis : Dr. A'idh Al-Qarni, M.A
Dr. Muhammad Abdurahman Al-Uraifi
Syaikh Muhammad Ya'qub
Penerbit : AQWAM
Jumlah : 136 hal, 23 cm
ISBN : 979-3653-01-9
Presensi : Abu Mufidah
Kematian pasti akan mendatangi setiap makhluk yang bernyawa. Kehadirannya tak bisa ditolak, meski oleh seorang penguasa yang sedang berkuasa. Dia tidak bisa di undurkan barang sekejap saja, pun dia tidak bisa di majukan barang sebentar saja. Kematian itu pasti akan terjadi. Ia tidak akan meleset meski hanya sedetik. Namun demikian, tak seorang pun tahu, kapan gilirannya. Ia bisa datang menyergap dengan tiba-tiba. Ia akan mencengkram ubun-ubun yang durhaka, ia akan menerjang sang pendosa, dan ia akan datang dengan lembut pada sang kekasih Allah Subhanahuwata’ala. Ia adalah sebuah misteri. Karenanya, setiap orang semestinya selalu siap kapanpun dan dimanapun berada, siap akan tercerabut nyawa. Dan tentu pilihan kita khusnul khatimah. Untuk mencapai khusnul khatimah itu harus melalui jalan Syari’at, dengan mejalankan segala perintah dan menjauhi segala larangannya. Bukankah perahu tak akan jalan jika di daratan…?
Orang-orang yang sehalih tidak merasa aman akan datangnya kematian, bukan lantaran takut mati tetapi ia takut jika datang dalam keadaan berbuat dosa. Rasa takut mencabik-cabik hati orang-orang shalih dan membuat mata mereka banjir air mata. Yang paling mereka takuti ialah su’ul khatimah. Seperti sufyan At-Tsauri kalut sekali ketika memikirkan setatus dirinya dan suul Khatimah. Pada suatu hari, ia menangis, lalu berkata ,’’Aku takut tertulis di lauhul mahfudz sebagai penghuni neraka. ‘’ Ia menangis lagi. Lalu berkata. “ Aku takut iman dicabut dariku saat kematian menjemput ku.
Malik bin dinar berdiri semalam suntuk dengan memegang jenggotnya sambil berkata, “ Ya Tuhanku, engkau tahu siapa penghuni neraka dan siapa penghuni syurga. Kira-kira diamanakah tempat Malik Bin dinar kelak..?
Itulah gambaran ketakutan orang-orang shalih, yang mana ketika ia mengingat kematian maka banjirlah airmatanya dan gemaetarlah jiwanya. Kematian yang tidak bisa ditawar lagi pasti akan mendatangi kita semua, tak kenal sikaya dan tak kenal si miskin. Orang Susah dan orang senang ia akan datangi tanpa pandang bulu.
Ya, itulah kematian. Sebuah jani yang Allah berikan kepada manusia, tak peduli budak atau raja, cerdik atu pandai. Ia akan merasakan masuk liang lahat yang sempit, dihimpit kubur yang gelap, dan dimakan cacing-cacing tanah. Jasad jadi bangkai, badan membusuk jadi tanah. Ya, Dialah kubur yang akan kita datangi, dia akan memusnahkan jasad kita dalam benaman tanah yang merah, dia mendekap dengan dekapan keras, selama di himpit tanah dan kengerian dalam kegelapan, ia menunggu hari kebangkitan dan penggiringan manusia ke hadapan Rabul’alamin. Menunggu saat ditiupkan sangkakala, menanti datangnya hisab.
Buku yang hadir diahadap pembaca adalah kompilasi tiga ulama ternama dari najed. Di dalamnya syarat dengan tadzkirah [Peringatan] untuk mengingat kematian. Kita memang perlu nasihat, karena hiruk pikuk dunia kadang melalaikan kitra pada tujuan akhirat. Kita memang perlu sebuah nasihat yang akan menghanguskan kecongkakan kita. bukankah, sudah menjadi sunatullah bagi setiap orang. Iman itu pasang surut..? kadang bertambah dan kadang berkurang.? Ketika kondisi keimanan kita melemah maka saat itulah kita perlu cambuk hati untuk mengingatkannya.
Tiga ulama penulis buku ini tidak sekedar menulikan teori-teori definitif saja, tetapi inilah sebentuk nasihat naratif yang menguggah jiwa-jiwa yang kering akan keimanan. Dengan gaya bahasa yang renyah, reflektif, penuh bahan renungan yang keluar dari bahasa hati, di kokohi dengan kisah-kisah pilihan dari generasi Salafus-shalih. Karenanya buku ini tidak hanya enak dibaca, juga membuat kita dibawa hanyut oleh perjalanan hati para penulis.
Penulis : Dr. A'idh Al-Qarni, M.A
Dr. Muhammad Abdurahman Al-Uraifi
Syaikh Muhammad Ya'qub
Penerbit : AQWAM
Jumlah : 136 hal, 23 cm
ISBN : 979-3653-01-9
Presensi : Abu Mufidah
Kematian pasti akan mendatangi setiap makhluk yang bernyawa. Kehadirannya tak bisa ditolak, meski oleh seorang penguasa yang sedang berkuasa. Dia tidak bisa di undurkan barang sekejap saja, pun dia tidak bisa di majukan barang sebentar saja. Kematian itu pasti akan terjadi. Ia tidak akan meleset meski hanya sedetik. Namun demikian, tak seorang pun tahu, kapan gilirannya. Ia bisa datang menyergap dengan tiba-tiba. Ia akan mencengkram ubun-ubun yang durhaka, ia akan menerjang sang pendosa, dan ia akan datang dengan lembut pada sang kekasih Allah Subhanahuwata’ala. Ia adalah sebuah misteri. Karenanya, setiap orang semestinya selalu siap kapanpun dan dimanapun berada, siap akan tercerabut nyawa. Dan tentu pilihan kita khusnul khatimah. Untuk mencapai khusnul khatimah itu harus melalui jalan Syari’at, dengan mejalankan segala perintah dan menjauhi segala larangannya. Bukankah perahu tak akan jalan jika di daratan…?
Orang-orang yang sehalih tidak merasa aman akan datangnya kematian, bukan lantaran takut mati tetapi ia takut jika datang dalam keadaan berbuat dosa. Rasa takut mencabik-cabik hati orang-orang shalih dan membuat mata mereka banjir air mata. Yang paling mereka takuti ialah su’ul khatimah. Seperti sufyan At-Tsauri kalut sekali ketika memikirkan setatus dirinya dan suul Khatimah. Pada suatu hari, ia menangis, lalu berkata ,’’Aku takut tertulis di lauhul mahfudz sebagai penghuni neraka. ‘’ Ia menangis lagi. Lalu berkata. “ Aku takut iman dicabut dariku saat kematian menjemput ku.
Malik bin dinar berdiri semalam suntuk dengan memegang jenggotnya sambil berkata, “ Ya Tuhanku, engkau tahu siapa penghuni neraka dan siapa penghuni syurga. Kira-kira diamanakah tempat Malik Bin dinar kelak..?
Itulah gambaran ketakutan orang-orang shalih, yang mana ketika ia mengingat kematian maka banjirlah airmatanya dan gemaetarlah jiwanya. Kematian yang tidak bisa ditawar lagi pasti akan mendatangi kita semua, tak kenal sikaya dan tak kenal si miskin. Orang Susah dan orang senang ia akan datangi tanpa pandang bulu.
Ya, itulah kematian. Sebuah jani yang Allah berikan kepada manusia, tak peduli budak atau raja, cerdik atu pandai. Ia akan merasakan masuk liang lahat yang sempit, dihimpit kubur yang gelap, dan dimakan cacing-cacing tanah. Jasad jadi bangkai, badan membusuk jadi tanah. Ya, Dialah kubur yang akan kita datangi, dia akan memusnahkan jasad kita dalam benaman tanah yang merah, dia mendekap dengan dekapan keras, selama di himpit tanah dan kengerian dalam kegelapan, ia menunggu hari kebangkitan dan penggiringan manusia ke hadapan Rabul’alamin. Menunggu saat ditiupkan sangkakala, menanti datangnya hisab.
Buku yang hadir diahadap pembaca adalah kompilasi tiga ulama ternama dari najed. Di dalamnya syarat dengan tadzkirah [Peringatan] untuk mengingat kematian. Kita memang perlu nasihat, karena hiruk pikuk dunia kadang melalaikan kitra pada tujuan akhirat. Kita memang perlu sebuah nasihat yang akan menghanguskan kecongkakan kita. bukankah, sudah menjadi sunatullah bagi setiap orang. Iman itu pasang surut..? kadang bertambah dan kadang berkurang.? Ketika kondisi keimanan kita melemah maka saat itulah kita perlu cambuk hati untuk mengingatkannya.
Tiga ulama penulis buku ini tidak sekedar menulikan teori-teori definitif saja, tetapi inilah sebentuk nasihat naratif yang menguggah jiwa-jiwa yang kering akan keimanan. Dengan gaya bahasa yang renyah, reflektif, penuh bahan renungan yang keluar dari bahasa hati, di kokohi dengan kisah-kisah pilihan dari generasi Salafus-shalih. Karenanya buku ini tidak hanya enak dibaca, juga membuat kita dibawa hanyut oleh perjalanan hati para penulis.